Jumat, 21 November 2008

URGENSI PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI DUNIA USAHA DALAM MEWUJUDKAN TATA KELOLA USAHA YANG BERETIKA DAN BERKELANJUTAN

Oleh :
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.
Dosen FH UII Yogyakarta


A. PENDAHULUAN
Kehadiran dunia usaha sangat berperan penting dalam menopang kegiatan perekonomian masyarakat dan bangsa. Dunia usaha akan mendorong menguatnya sektor riel masyarakat dan sekaligus akan menyerap tenaga kerja serta mengurangi pengangguran.
Perkembangan dunia usaha terutama di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan semakin bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Kondisi demikian, di satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen mengenai barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai keinginan dan kemampuan konsumen. Namun disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, di mana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktifitas untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan. Dalam hal ini yang menjadi kelemahan konsumen, faktor utamanya adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Terlebih ketika para pelaku usaha menggunakan prinsip ekonomi, yakni bagaimana mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ekonomi ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, pada umumnya pihak konsumen mempunyai posisi tawar yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen terkadang tidak dapat berbuat banyak ketika menerima barang dan atau jasa yang kondisnya kurang sesuai dengan yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Sehubungan dengan itu, sudah semestinya dunia usaha juga harus memiliki tata kelola usaha yang baik dan tidak merugikan kepentingan masyarakat, khususnya para konsumen. . Salah satu solusinya, perlu diberlakukannya dan ditegakkannya prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) bagi dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya, sebagai pedoman dan parameter kinerja dunia usaha dalam menjalankan aktifitasnya. Dalam hal ini kontrol dan pengawasan publik terhadap praktek bisnis dapat melibatkan baik dari unsur pemerintah, masyarakat dan kalangan dunia usaha sendiri.

Salah satu rekomendasi dari Corporate Sector Workshop (CSW) tersebut adalah perlu adanya keikutsertaan sektor swasta untuk melakukan pengawasan terhadap praktek bisnis beretika dan berkelanjutan, termasuk dalam penyelengaraan negara dan pemerintahan yang berkait dengan kepentingan sektor swasta dan berdampak luas bagi masyarakat. Sehubungan dengan itu perlu dibentuk sebuah instrumen yang efektif seperti ombudsman swasta dalam rangka membantu dunia usaha dalam mewujudkan praktek sektor usaha yang beretika berkelanjutan, sehingga mampu memberikan pelayanan, menjalani proses produksi, dan menghasilkan produk yang melindungi publik konsumen dan sesuai dengan standar yang seharusnya.

B. PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Pada dasarnya prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) sudah lama menjadi focus perhatian di negara-negara maju, seperti di Amerika, Prancis, Inggris, Jepang, Korea yang kemudian juga menyebar ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada dasarnya prinsip GCG menghendaki keberadaan dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya harus dapat menyeimbangkan antara profit orientation dengan customer service. Dunia usaha dapat mengembangkan modal dan keuntungan sebesar-besarnya, tetapi di sisi lain juga harus memenuhi aturan main (rule of game) yang berlaku, sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik dan bermutu kepada masyarakat konsumen.

Adapun secara umum prinsip-prinsip GCG adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Kepatuhan terhadap Aturan dan Hukum
Prinsip kepatuhan terhadap hukum yang dimaksud di sini adalah ketaatan penyelenggaraan usaha atau bisnis terhadap hukum yang berlaku. Secara tertulis hukum itu dapat berupa undang-undang dan peraturan pemerintah, atau kesepakatan tertulis antara dua orang atau lebih. Selain hukum formal, juga terdapat hukum non formal yang merupakan konsensus sebuah kelompok masyarakat.
2. Prinsip Transparansi atau Keterbukaan
Prinsip transparansi adalah prinsip untuk bersedia melakukan keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai jasa, produk, dan kebijakan dari institusi atau perusahaan kepada stakeholder dan shareholder , baik yang berhubungan dengan internal maupun eksternal. Transparansi sering juga diidentikkan dengan kesempurnaan atau keutuhan informasi.
3. Prinsip Akuntabilitas/Tanggung Gugat ( accountability )
Prinsip akuntabilitas atau tanggung gugat adalah prinsip bisnis beretika berkelanjutan yang berkaitan dengan kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban manajemen perusahaan atau institusi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan efesien.
4. Prinsip Pertanggungjawaban ( responsibility )
Prinsip pertanggungjawaban adalah prinsip kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan atau institusi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Selain itu prinsip ini juga bermakna pemenuhan kewajiban institusi atau perusahaan kepada semua pemangku kepentingan baik di internal maupun eksternal yang menjadi hak mereka.
5. Prinsip Kewajaran ( fairness )
Prinsip kewajaran adalah prinsip pengelolaan perusahaan atau institusi yang didasarkan pada keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.Prinsip Kejujuran ( honesty )
Prinsip kejujuran adalah prinsip kesesuaian antara perkataan, perbuatan dengan kondisi sebenarnya dan atau aturan yang ada menyangkut materi atau informasi yang relevan dalam kegiatan, praktek atau pengelolaan perusahaan atau institusi. Secara praktis adalah tidak adanya kebohongan antara perusahaan dengan semua stakeholder dan shareholder menyangkut materi dan informasi yang relevan bagi mereka.
7. Prinsip Empati ( compassion )
Prinsip empati adalah prinsip perlakuan kepada stakeholder dan shareholder oleh sebuah perusahaan atau institusi sebagaimana mereka sendiri ingin diperlakukan dalam pengelolaan bisnis atau usaha. Secara operasional adalah bagaimana memperlakukan pihak lain seolah-olah memperlakukan diri sendiri. Jika diri sendiri tidak ingin dibohongi, maka pihak lain juga menginginkan yang sama. Jika diri sendiri ingin diperlakukan sopan, maka semestinya memperlakukan pihak lain dengan sopan juga.
8. Prinsip Kemandirian ( independence )
Prinsip kemandirian merupakan suatu keadaan dimana perusahaan atau institusi dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

Prinsip-prinsip GCG bagi dunia usaha di atas secara umum sebenarnya sudah tersurat dan tersirat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain :
a.UU No. 8 Taun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
b.UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
c.UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
d.UU N. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
e.UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia
f.PP No. 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Consumen Nasional
g.PP No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan consumen.
h.PP No. 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
i.Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Keppres No. 61 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah.

Meskipun secara umum regulasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip GCG sudah ada, tetapi dalam hal pengawasan dan penegakannya masih lemah. Dalam konteks itulah, perlunya kehadiran lembaga seperti ombudsman swasta yang diharapkan sebagai lembaga yang dipercaya publik, transparan dan dapat mewakili masyarakat dalam mengawasi tingkat kepatuhan dan kepatutan dalam tata kelola usaha dan paktek-praktek bisnis yang baik dan menjamin hak-hak konsumen. Ombudsman Swasta berfungsi sebagai pengawas, mediasi dan memberikan rekomendasi penyelenggaraan usaha yang beretika dan berkelanjutan untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat dari praktek penyimpangan usaha.

C. PENUTUP
Adalah suatu keniscayaan bahwa dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya perlu memperhatikan prinsip-prinsip GCG, agar warga masyarakat dan konsumen pada khususnya memperoleh pelayanan yang baik, berkualitas, profesional dan proporsional. Dunia usaha tidak hanya berorientasi keuntungan semata, tetapi juga harus memberikan customer service yang prima. Kehadiran ombudsman swasta menjadi sangat penting sebagai pengawas, mediator dan memberikan rekomendasi penyelenggaraan usaha yang beretika dan berkelanjutan untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat dari praktek penyimpangan usaha.

Daftar Referensi
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, 2006.
Rahayu Hartini, Hukum Komersial, UMM Press, Malang, 2005
http://www.los-diy.or.id/, beberapa bagian.

MENGGAPAI UNDANG-UNDANG BARU MAHKAMAH AGUNG YANG RESPONSIF DAN VISIONER

Oleh :
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.
Dosen FH UII Yogyakarta


A.PENGANTAR
Sebelum kami memberikan komentar terhadap materi RUU Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ijinkanlah kami terlebih dahulu menawarkan alternatif atau opsi yang dapat dilakukan ke depan oleh pembuat UU sehubungan dengan konsep RUU tersebut. Ada dua opsi yang kami tawarkan dalam pembuatan RUU tersebut, yaitu : pertama, tetap meneruskan pembuatan RUU Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, atau ; kedua, merubah mainstream dari perubahan UU yang sepotong-potong menjadi merombak total untuk diarahkan menjadi RUU Mahkamah Agung baru yang responsif dan visioner.
Seperti diketahui, UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung baru diundangkan dan diberlakukan kurang lebih 3 tahun lalu, waktu yang relatif singkat untuk dilakukannya perubahan kedua kalinya terhadap UU No. 14 Tahun 1985. Apabila dilihat dari salah satu pertimbangan dalam RUU ini, perubahan kedua ini memang mempunyai alasan yang logis, yaitu berkaitan dengan masalah pengawasan hakim agung, yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut UUD 1945. Meskipun demikian, adanya perubahan kedua ini setidaknya memberi kesan pembuat UU seolah “bekerja tergesa-gesa”, dan “tidak futuristik” sehingga produk UU tidak dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama. Di samping itu juga mencerminkan kurangnya kecermatan dan kurangnya komprehensifitas penelaahan materi perundang-undangan, sehingga tidak menutup kemungkinan setelah perubahan kedua mungkin juga dilakukan perubahan yang ketiga kalinya dan seterusnya.
Bagaimanapun juga suatu UU yang terlalu sering dirubah-rubah meskipun dengan semua alasan pembenarnya tidaklah baik bagi masyarakat maupun hukum itu sendiri, karena akan menimbulkan kebingungan (confusing) dan ketidakpastian hukum (law uncertainty). Oleh karena itu menurut hemat kami, kalau memang memungkinkan RUU perubahan kedua UU No. 14 tahun 1985 diarahkah untuk perubahan total dengan membuat RUU Mahkamah Agung yang baru dengan mengakomodasikan, mengkombinasikan dan merespon perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan. Dengan kehadiran UU Mahkamah Agung baru, yang bernuansakan spirit pembaharuan hukum (law reform), diharapkan dapat ikut membantu mewujudkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Meskipun apabila opsi ini yang dipilih, memang membutuhkan waktu yang lebih lama, energi dan biaya lebih besar dibandingkan sekedar hanya melakukan perubahan parsial UU Mahkamah Agung untuk kedua kalinya.

B.BEBERAPA PERMASALAHAN MAHKAMAH AGUNG DAN PERADILAN
Ada beberapa wacana yang berkembang selama ini ketika mendiskusikan permasalahan menyangkut institusi Mahkamah Agung dan perkembangan sistem peradilan pada umumnya, yang perlu diperhatikan dan diakomodir dalam rangka perubahan dan penyempurnaan draft RUU Mahkamah Agung yang baru. Secara lebih khusus, kami membedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) permasalahan umum MA dan sistem peradilan, dan ; (2) permasalahan pengawasan hakim agung terkait RUU Perubahan Kedua UU MA, yang akan kami paparkan di bawah ini.

1.Permasalahan Umum MA dan Sistem Peradilan
Beberapa hal yang menyangkut permasalahan dan perkembangan di Mahkamah Agung dan peradilan pada umumnya antara lain :
a.Independensi Lembaga Peradilan.
Independensi lembaga peradilan merupakan asas yang bersifat universal dalam negara hukum, meskipun berlakunya bersifat kontekstual tergantung di negara masing-masing. Independensi kekuasaan kehakiman sebenarnya sudah diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang, tetapi dalam praktik hakim masih rentan menerima intervensi dan tekanan fisik, psychis dan materi dari pihak extra judicial, baik tekanan dari penguasa, tekanan internasional maupun tekanan keluarga dan kerabatnya. Hal ini secara manusiawi dapat mempengaruhi hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenang yudicialnya, sehingga berakibat putusannya tidak objektif dan jauh dari rasa keadilan. Di sisi lain, ada fenomena asas independensi ini dapat pula sebagai tempat berlindung para hakim ketika melakukan tindakan korupsi peradilan (judicial corruption). Oleh karena independensi lembaga peradilan dan bagaimana implementasinya perlu mendapat pengaturan yang jelas dalam perundang-undangan.

b.Integritas dan Profesionalisme Hakim
Hakim dalam semua tingkatan menduduki posisi sentral dalam proses peradilan. Dalam posisi sentral itulah diharapkan dapat menegakkan hukum dan keadilan. Hanya hakim yang baik, yaitu hakim yang memiliki integritas moral dan profesionalisme yang diharapkan dapat menghasilkan putusan baik, yaitu putusan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfataan. Hakim yang baik hanya lahir dari sistem yang baik, yaitu sistem yang dibangun sejak awal mulai dari rekruitment hakim yang baik, seleksi yang ketat dan pendidikan/pelatihan yang berkesinambungan. Dalam praktik penegakan hukum selama ini, banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan pencari keadilan adanya hakim yang rendah integritas moralnya dan tidak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya. Akibatnya yang terjadi adalah putusan yang dihasilkan hukumnya tidak cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiverd) dan jauh dari rasa keadilan.

c.Manajemen penanganan perkara MA
Manajemen perkara lembaga peradilan khususnya Mahkamah Agung sekarang ini masih belum seperti yang diharapkan oleh masyarakat dan pencari keadilan (justiciabellen). Hal ini dapat terlihat antara lain dari lambannya minutasi putusan MA sampai ke tangan pihak yang berwenang (Jaksa Penuntut Umum) sampai memakan waktu lebih dari 6 bulan, yang dapat berakibat serius seperti tidak dicekalnya sorang koruptor yang kabur ke luar negeri. Terjadinya kongesti (tumpukan) perkara kasasi yang jumlahnya ribuan sehingga berakibat tertundanya putusan dan keadilan bagi justiciabel sampai bertahun-tahun. Kemudian juga sulitnya akses masyarakat mendapatkan putusan dan produk peradilan lainnya. Ini sudah menjadi rahasia umum, bagi kalangan dunia akademik untuk kepentingan riset dan pengembangan keilmuan yang memerlukan putusan sebagai bahan analisis tentunya sangat terhambat dengan kondisi ini. Mahkamah Agung dalam hal ini kiranya perlu belajar dari Mahkamah Konstitusi yang sudah punya ”good will” menerapkan transparansi dan manajemen perkara dengan baik.

d.Sistem satu atap, puncak ganda
Sistem peradilan Indonesia yang sekarang ini ditempatkan dalam satu atap, tetapi memiliki dua puncak, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah pola satu atap dengan puncak ganda ini sudah tepat? Terlebih lagi Mahkamah Konstitusi tidak membawahi lingkungan peradilan di bawahnya. Apakah tidak lebih baik sistem peradilan kita ditempatkan dibawah satu atap dan satu puncak, misalnya di bawah institusi Mahkamah Kehakiman. Ini memang membutuhkan kajian mendalam, karena sudah diatur dalam konstitusi.
e.Sistem kamar dan spesiallisasi Hakim Agung
Sampai sekarang belum adanya sistem kamar dan spesiallisasi Hakim Agung, sehingga dapat terjadi hakim agung yang berlatar belakang hakim agama kemudian ikut memutus perkara perdata maupun pidana. Seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi, karena mestinya seorang hakim memutus perkara sesuai bidang keahliannya atau spesialisasinya. Dalam RUU perubahan Mahkamah Agung mestinya hal ini perlu diakomodir dan dirumuskan secara jelas.

f.Keberadaan Peradilan Khusus
Belum jelasnya penataan badan peradilan khusus dalam sistem peradilan Indonesia, karena seringkali munculnya UU baru disertai amanat pembentukan peradilan khusus, sehingga badan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan begitu banyak jumlahnya. Misalnya Pengadilan Niaga (UU No. 37 Tahun 2004), Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997), Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), Peradilan Syariah Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (UU No. 18 Tahun 2001), Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2002), Pengadilan Perikanan (UU No. No. 31 Tahun 2004), dan Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004). Keberadaan peradilan khusus ini dapat berakibat merusak sistem peradilan yang ada, karena peradilan khusus dalam implementasinya juga memerlukan hukum acara khusus yang berbeda dengan hukum acara induknya.

g.Peradilan Pajak
Keberadaan peradilan pajak perlu dikaji ulang, mestinya bukan dibawah eksekutif (Menteri Keuangan), tetapi ditempatkan sebagai peradilan murni judikatif. Peradilan pajak seperti sekarang ini posisinya menjadi rancu, karena tidak jelasnya pembagian kewenangan eksekutif dan yudikatif. Di tingkat pemeriksaan pertama yang menjadi hakim pihak eksekutif, tetapi dalam tingkat kasasi diperiksa oleh Hakim Agung Mahkamah Agung, hakim yang sesungguhnya.

h.Rumusan Asas-asas Peradilan di atas awang-awang.
Kalau dicermati banyak asas-asas hukum peradilan yang hanya untaian kata-kata indah tetapi tak berlaku. Misalnya apakah asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sudah dapat diimplementasikan dengan baik dalam praktik peradilan. Oleh karena itu perlu dirumuskan kembali asas-asas umum peradilan yang baik (Algemene beginselen van behoorlijk rechtspraak) yang tidak sekedar menjadi jargon, tetapi juga dapat dioperasionalkan dan terukur.

i.Perbedaan Sumpah hakim dengan Panitera/Jurusita.
Adanya perbedaan sumpah antara hakim dan panitera/jurusita, di mana dalam sumpah hakim tidak terdapat kata ”Pancasila”, sedangkan sumpah panitera dan jurusita terdapat kata ”Pancasila”. Dalam ketentuan Pasal 17 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004, sumpah dan janji jabatan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri dan Hakim tidak menyebut Pancasila. Demikian pula dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004, syarat dan sumpah / janji Hakim Agung juga tidak menyebut Pancasila. Sementara itu dalam Pasal 28,30.32,34 dan 38 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti dalam sumpah dan janjinya harus setia kepada Pancasila. Demikian pula dalam Pasal 40,42,46 dan 49 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004, Jurusita, Jurusita Pengganti, Sekretaris Pengadilan dalam sumpah dan janjinya juga harus setia kepada Pancasila. Konsekwensinya apakah hakim tidak perlu terikat pada Pancasila? Meskipun sementara pihak berpendapat, bahwa Pancasila secara inherent sudah ada dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi pembentuk UU di sini telah berlaku diskriminatif. Oleh karena itu mestinya Pancasila harus dieksplisitkan dalam sumpah hakim supaya tidak menimbulkan kesan diskriminatif.

2.Permasalahan Pengawasan Hakim Agung
Beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan pengawasan hakim agung antara lain :
a.Pengawasan Hakim Agung
Dalam rangka implementasi check and balances system, pada hakekatnya semua kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif perlu adanya kontrol dan pengawasan. Termasuk Hakim Agung juga harus ada pengawasan. Pertanyaannya siapa yang harus melakukan pengawasan terhadap hakim agung? Kegagalan sistem yang ada dalam mencaiptakan peradilan yang lebih baik pada masa lalu telah mendorong timbulnya pemikiran kearah pembentukan suatu lembaga pengawas eksternal (external auditors) yang bernama Komisi Yudisial. Oleh karena itu sistem pengawasan hakim agung idealnya dilakukan dengan model pengawasan ganda baik internal maupun eksternal, supaya pengawasan berjalan efektif yang pada gilirannya mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. Pengawasan internal dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (MKMA), sedang pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Meskipun demikian harus ada proporsi pengawasan yang jelas antara MA dan Komisi Yudisial. Misalnya kewenangan pengawasan internal MA mencakup pengawasan di bidang kompetensi dan profesionalisme, administratif, organisatoris dan financial. Sedangkan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Dalam perkembangannya, fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial seolah tidak ada artinya lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun kalau dicermati sebenarnya putusan Mahkamah Konstitusi tidak bermaksud menegasikan kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan, keluhuran dan perilaku hakim agung, hanya perlu dilakukan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Demikian pula hakim di lingkungan peradilan lain juga perlu pengawasan internal oleh pimpinan dan atasan institusi peradilan maupun pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Jadi pengawasan sudah tepat dilakukan secara berjenjang mulai dari bawah sampai puncaknya di Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial disamping punya kewenangan mengawasi para hakim, sekaligus mestinya juga diberi kewenangan untuik menjatuhkan sanksi. Peradilan yang lebih tinggi secara automatically mempunyai kewenangan pengawasan terhadap peradilan di bawahnya. Di samping lembaga pengawasan formal yang sudah ditentukan dalam perundang-undangan, masyarakat dan LSM juga dapat berperan serta melakukan pengawasan dengan memberikan informasi tentang penyimpangan yang dilakukan oleh hakim. Bukankah asasnya persidangan pengadilan terbuka untuk umum? Hal ini adalah dalam upaya membuka social control terhadap lembaga peradilan.

b.Ruang Lingkup Pengawasan Hakim
Ruang lingkup pengawasan hakim pada dasarnya dapat dibedakan dua macam, yaitu dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Ruang lingkup pengawasan terhadap hakim tersebut harus dirumuskan normanya secara jelas termasuk parameternya. Sehingga dapat diketahui secara pasti perbuatan hakim manakah yang menyimpang dan tidak menyimpang baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan. Sehubungan dengan itu perlu dibuat pedoman pengawasan bagi hakim yang dituangkan dalam perundang-undangan agar memiliki daya mengikat bagi hakim dengan disertai bentuk sanksi dan prosedur penindakannya.
Pelaksanaan pengawasan terhadap hakim sebagai konsekwensi check and balances system tidaklah ditujukan untuk mengurangi independensi hakim dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Pengawasan dilakukan dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Apakah perilaku tertentu seorang hakim sudah sesuai atau menyimpang dari norma yang telah ditentukan. Masalah yang muncul adalah sulitnya memisahkan secara tegas korelasi antara perilaku hakim dengan independensi tugas yudisialnya. Dalam praktik selama ini, Komisi Yudisial berasumsi bahwa putusan hakim yang ”bermasalah” berkorelasi positif dengan perilaku hakim yang menyimpang. Asumsi seperti itu tidak salah, karena putusan yang ”bermasalah” dapat menjadi indikasi atau petunjuk bahwa perilaku hakimnya juga menyimpang dari norma yang penyimpangannya harus dibuktikan lebih lanjut. Oleh karena perlu dicarikan parameter kongkrit seperti apa kategori suatu putusan dianggap bermasalah? Sudah tentu putusan ”bermasalah” di sini tidaklah selalu identik dengan putusan ”kontroversial” karena ”terobosan hukumnya”, seperti yang pernah diputuskan oleh Hakim Bismar Siregar yang menganalogikan kemaluan wanita sebagai barang yang dapat dikenakan delik penipuan terhadap orang yang mengambilnya secara melawan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh Hakim Bismar Siregar adalah bentuk ”ijtihad hukum” dalam rangka memberikan perlindungan dan keadilan bagi wanita yang ditinggal pasangannya secara tak bertanggung jawab. Putusan bermasalah disini lebih berkonotasi dengan adanya mafioso peradilan atau timbulnya judicial corruption.

c.Eksaminasi Putusan Hakim
Pengawasan terhadap perilaku hakim dapat dilakukan dengan cara mengkaji putusan pengadilan. Kredibilitas seorang Hakim hakekatnya juga ditentukan oleh putusan-putusan yang dibuatnya. Tidak berlebihan kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya, terutama pada bagian pertimbangan hukumnya. Untuk mencari hakim yang jujur dan berkualitas, dapat dilihat dari putusan-putusan yang telah dihasilkannya selama ini, yaitu dengan cara melakukan eksaminasi putusan. Secara umum yang dimaksud eksaminasi adalah menguji kembali putusan hakim dengan melihat isi/materi dari putusan tersebut. Eksaminasi juga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan akuntabilitas seperti yang selama ini disuarakan oleh masyarakat. Melalui eksaminasi, masyarakat bisa mengetahui dasar pertimbangan seorang hakim dalam mengambil putusannya. Dari situ, bisa dinilai pula apakah putusan hakim tersebut diambil dengan cara-cara yang semestinya atau malah sarat dengan nuansa KKN.
Eksaminasi putusan biasanya dilakukan oleh pimpinan pengadilan atas putusan hakim bawahannya sebagai bagian dari sistem pengawasan dan penilaian hakim tersebut. Dalam kaitan ini, eksaminasi dilakukan untuk mencari atau menemukan berbagai permasalahan dalam pertimbangan hukum maupun putusan hakim terutama menyangkut penerapan hukum materiil maupun formilnya dalam kerangka penilaian secara obyektif menyangkut perkara yang bersangkutan. Meskipun lembaga eksaminasi sudah dikenal lama di lingkungan pengadilan, akan tetapi dalam prakteknya cenderung tidak efektif dan jarang sekali dilakukan.
Belakangan ini eksaminasi putusan hakim juga dilakukan secara eksternal oleh lembaga bentukan masyarakat untuk keperluan pendidikan kepada masyarakat tentang kualitas seorang hakim. Dan cara eksaminasi ini telah ditempuh oleh beberapa Ornop yang tergabung dalam koalisi pemantau peradilan, seperti Indonesian Court Monitoring (ICM) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan melibatkan para pakar hukum, akademisi, maupun praktisi hukum. Alasannya sederhana, publik selama ini tidak pernah tahu atau dilibatkan terhadap eksaminasi yang digagas oleh lembaga peradilan sehingga tidak ada kontrol sama sekali. Di samping itu, Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan diharapkan mau membuka mata bahwa masyarakat tidak pernah berhenti mengawasi lembaga peradilan ini.

d.Akuntabilitas dan Transparansi Pengawasan Hakim
Akuntabilitas dapat diartikan adanya kejelasan fungsi, tugas, wewenang dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan lembaga terlaksana secara efektif. Dengan kata lain akuntabilitas adalah suatu prinsip yang meletakkan kewajiban organ di dalam struktur untuk mengelola dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan visi, misi dan sasaran serta bekerjanya sistem dan mekanisme yang memungkinkan semua pihak dapat menjalankan fungsinya dengan baik serta kinerjanya yang terukur. Akuntabilitas mempunyai peran strategis dalam lembaga peradilan, yaitu : pertama, lembaga peradilan tidak hanya bekerja pada wilayah publik, tetapi juga bekerja untuk kepentingan justiciabel; kedua, lembaga peradilan dibangun atas dasar kepercayaan publik; ketiga, lembaga peradilan punya kewajiban untuk menjamin pengelolaan kewenangan dilakukan dngan prinsip non diskriminatif, equality before the law, profesional serta tercapainya peradilan yang sderhana, cepat dan biaya ringan. Bambang Wijoyanto menyebutkan 7 (tujuh) prasarat bekerja optimalnya akuntabilitas, yaitu :
1.Adanya suatu struktur, fungsi, tugas pokok atau mandat, hak dan kewajiban srta wewenang dan pertanggungjawaban masing-masing organ dalam lembaga peradilan dengan rumusan yang jelas.
2.Segenap organ di dalam struktur lembaga peradilan memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menjalankan tugas pokoknya sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
3.Lembaga peradilan memiliki mekanisme check and balances dan pengawasan internal maupun eksternal srta sistem monitoring dan evaluasi yang efektif dan melekat secara inherent di dalam sistem kerja.
4.Lembaga peradilan konsisten dalam menggunakan value, target dan strategy.
5.Lembaga peradilan memiliki reward and punisment system.
6.Tersedianya ukuran kinerja sesuai dengan indikator yang telah disepakati dan penilaian dilakukan secara fair.
7.Disediakannya organ-organ penting di dalam strukturnya, seperti komite pemantau dan audit kinerja, komite nominasi (promosi dan mutasi), komite compliance (pengaduan masyarakat).
Prinsip akuntabilitas berkaitan erat dengan transparansi, karena akuntabilitas tidak dapat maksimal tanpa ditopang penerapan prinsip transparansi secara konsisten. Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiel dan relevan dalam lingkungan internal lembaga. Prinsip keterbukaan juga harus dianut dan menjadi dasar lembaga peradilan dalam menjalankan otoritasnya dan berkomunikasi dengan semua stake holder.
Dalam kaitannya dengan pengawasan hakim, prinsip akuntabilitas dan transparansi harus diterapkan. Sebagai contoh dalam lembaga peradilan seharusnya ada kejelasan fungsi, tugas, wewenang dan mekanisme pertanggungjawaban organ dalam pengawasan hakim-hakimnya sehingga pelaksanaan pengawasan di lingkungan peradilan dapat terlaksana secara efektif. Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan mempunyai wewenang melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim (Lihat Pasal 13 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 jo. Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 tahun 2004). Berdasarkan kewenangannya tersebut, Mahkamah Agung mestinya harus mengumumkan secara berkala kepada publik mengenai kinerjanya dalam hal pengawasan terhadap para hakim, misalnya berapa banyak hakim yang melakukan kesalahan dan apa bentuk tindakan atau sanksi yang dijatuhkan. Hal ini tentunya akan direspon positif oleh publik ditengah krisis hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

e.Hubungan antara MA dengan KY
Kerangka hubungan antara MA dengan KY adalah hubungan fungsional dan tidak saling membawahi satu dengan lainnya. Oleh karena itu kedua lembaga tersebut masing-masing memiliki independensi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya sebagaimana telah dirumuskan dalam perundang-undangan dan tidak perlu saling intervensi kewenangan.

C.CATATAN KRITIS TERHADAP RUU PERUBAHAN KEDUA UU MA
Terlepas apakah nantinya pihak legislator akan memilih opsi yang mana sebagaimana ditawarkan di atas, perlu kiranya kami memberi beberapa catatan kritis terhadap materi draft RUU Perubahan Kedua atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
1.Istilah ”perubahan kedua” dalam RUU perlu dicermati konsistensinya, karena dalam UU No. 5 Tahun 2004 tidak menyebut sebagai perubahan pertama. Apakah tidak lebih baik disebutkan secara eksplisit tentang ”perubahan mengenai pengawasan hakim agung”, sehingga lebih jelas perubahannya menyangkut tentang masalah apa.
2.Pertimbangan pertama RUU berbunyi : ”bahwa kekuasaan kehakiman adalah ...dst”, mengapa istilah yang dijelaskan berkaitan dengan ”kekuasaan kehakiman”, apa urgensi dan relevansinya? Padahal yang diatur lebih spesifik adalah Mahkamah Agung, sehingga menurut hemat kami pertimbangannyapun lebih tepat menjelaskan tentang ”keberadaan Mahkamah Agung”. Pertimbangan RUU ini seolah hanya copy paste dengan bunyi pertimbangan dalam UU No. 5 Tahun 2004 atau mirip dengan UU No. 4 Tahun 2004.
3.Dalam Pasal 1 RUU seharusnya berbunyi : ”Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985...”, tetapi dalam Pasal 1 tersebut tidak ada tahunnya (1985).
4.Dalam Pasal 7 RUU, ada yang perlu diperjelas reasoningnya, yaitu :
a.Apa alasannya calon hakim agung karir harus sudah berusia minimal 50 tahun, bagaimana kalau calon di bawah usia 50 tahun tetapi secara kapabelitas, profesionalitas dan akseptabitasnya sangat baik dan tidak diragukan lagi integritas moralnya. Mengapa tidak dibuka peluang untuk calon yang dibawah 50 tahun dengan prestasi yang luar biasa untuk menjadi hakim agung.
b.Mengapa dibedakan persyaratan usia hakim karir sekurang-kurangnya 50 tahun, sedangkan calon hakim non karir tidak dibatasi sekurang-kurangnya 50 tahun, karena dalam ayat (2) butir a. disebutkan : ”memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruc, dan huruf e”. Dalam hal ini tidak menunjuk butir d yang memberi batasan usia sekurang-kurangnya berusia 50 tahun.
5.Dalam Pasal 8 ayat (3), istilah ”hari sidang” kurang tepat semestinya ”hari kerja”. Sehingga berbunyi sebagai berikut : ”Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat”.
6.Dalam Pasal 12 ayat (1) e, bahwa hakim agung diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya atas usul Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial dengan alasan : ”melanggar pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Yang harus dicermati adalah karena mengingat ada dua lembaga yang mengusulkan pemberhentian hakim agung dengan tidak hormat, yaitu MA dan KY, maka mestinya harus ada persepsi dan standarisasi yang sama antara kedua lembaga tersebut, supaya tidak menimbulkan conflict of interest nantinya. Bisa juga kewenangan ini hanya diberikan kepada Komisi Yudisial dan MA dikeluarkan dari ketentuan ini. Terkait dengan pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim harus diberi wadah yang jelas dalam peraturan perundang-undangan, supaya memiliki kekuatan mengikat.
7.Pasal 32 A ayat (4) RUU yang berbunyi : ”Dalam hal ada perbedaan substansi hasil pengawasan antara pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawasan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka yang berlaku adalah hasil pengawasan Komisi Yudisial”. Pertanyaannya adalah apa reasoningnya pengawasan eksternal Komisi Yudisial lebih didahulukan dari pengawasan internal Mahkamah Agung, hal ini mengesankan Mahkamah Agung sebagai supreme court diletakkan di bawah Komisi Yudisial. Mestinya harus ada pembagian fungsi kewenangan yang jelas antara kedua lembaga tersebut dalam pengawasan hakim agung, kalau perlu diperjelas ruang lingkup pengawasan internal maupun pengawasan eksternal meliputi apa saja supaya tidak menimbulkan tumpang tindih (over lapping) dalam pengawasan.
8.Pasal 32 B yang berbunyi :” Mahkamah Agung wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan putusan Mahkamah Agung”, kami sangat setuju dan harus didukung sepenuhnya mengingat selama ini akses masyarakat termasuk dunia akademis sangat sulit mendapatkan putusan MA. Di samping putusan MA mestinya dalam ketentuan Pasal ini juga perlu ditambahkan produk-produk lain MA seperti SEMA dan PERMA, masyarakat juga diberi akses yang sama.

D.UU MAHKAMAH AGUNG BARU YANG RESPONSIF DAN VISIONER
Pembuatan RUU Mahkamah Agung yang baru diharapkan menjadi UU yang responsif dan visioner, sehingga dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama. Untuk itu setidaknya perlu diperhatikan tiga hal yang bersifat mendasar, yaitu pembaharuan muatan filosofis, yuridis (normatif) dan sosiologis. Pembaharuan muatan filosofis dimaksudkan untuk mengkaji ulang relevansi konsep dasar dan asas-asas hukumnya, pembaharuan muatan yuridis (normatif) dimaksudkan untuk mengevaluasi muatan dari norma-norma atau kaidah hukum yang akan diberlakukan ke depan, sedangkan pembaharuan muatan sosiologis dimaksudkan agar lahirnya suatu peraturan perundang-undangan baru tidak mendapat tantangan dari masyarakat, oleh karena itu sedapat mungkin aspirasi dari masyarakat dapat terwadahi dengan baik.
Pendekatan sistem (system approach) perlu juga diperhatikan dalam pembuatan UU Mahkamah Agung, sehingga terjaga konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi dengan konstitusi maupun dengan UU peradilan yang lain, seperti UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 8 Tahun 2004, UU No. 9 Tahun 2004, UU No. 3 Tahun 2006 dan lain-lain. Sehingga UU yang terbentuk nantinya tidak terjadi ”inkonsistensi” dengan perundang-undangan peradilan lainnya.
Selanjutnya yang perlu dicermati adalah politik hukum bidang peradilan di Indonesia. Politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Politik hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu. Memahami politik hukum suatu perundang-undangan merupakan hal yang penting, mengingat pembuatan hukum atau perundang-undangan tidak dapat terlepas dari sistem politik yang ada pada waktu itu. Hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai kristalisasi dari proses interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak kekuatan politik yang ada. Secara das sollen politiklah yang harus tunduk pada ketentuan hukum, tetapi secara das sein (empirik) seringkali hukumlah yang sebenarnya diintervensi oleh politik, sehingga karakter produk hukum dan penegakannya akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.
Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, politik hukum di bidang peradilan dimaksudkan agar semakin terjaminnya konsistensi terwujudnya kemandirian lembaga peradilan yang berwibawa, bersih yang didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas dan semakin meningkatnya upaya pencegahan dan penanganan perkara korupsi. Politik hukum bidang peradilan menjadi penting, karena setelah reformasi, kinerja lembaga peradilan belum sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat. Beberapa persoalan muncul, seperti masih terdapatnya praktek mafia pradilan, putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai ”ultra petita” dan putusan tunda, serta sifat putusan yang final and binding. Kewenangan Komisi Yudisial yang tidak sesuai dengan konsep dan amanat Konstitusi. Persoalan-persoalan ini memang perlu dipertegas dalam politik hukum peradilan kita kedepan.

E.PENUTUP
Demikian beberapa masukan terkait rencana adanya RUU Perubahan Kedua UU Mahkamah Agung, semoga ada guna dan manfaatnya bagi pengambil keputusan. Mudah-mudahan upaya pembenahan UU Mahkamah Agung ini dapat membawa dampak positif terhadap perkembangan sistem peradilan di Indonesia.



-------------------------------

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BENDA CAGAR BUDAYA KOLEKSI MUSEUM DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh :

Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum
Dosen FH UII Yogyakarta

ABSTRAK

Keberadaan benda cagar budaya masih rawan dari kerusakan dan kemusnahan, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun ulah manusia. Untuk itu perlu diungkap bagaimana perlindungan hukumnya dan apakah peraturan perundangan-undangan yang ada sudah memadai dalam upaya memberikan perlindungan terhadap benda-benda tersebut. Dalam tulisan ini dibatasi hanya dalam lingkup Daerah istimewa Yogyakarta. Sebagai kota yang berpredikat kota budayaini, ternyata mempunyai cukup banyak benda peninggalan sejarah dan purbakala, yang sebagian sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Benda warisan budaya tersebut sebagian disimpan di dalam musium, yang tersebar di beberapa tempat.

Hasil penelitian menunjukkan, meskipun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan benda cagar budaya sudah ada, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1992 beserta aturan-aturan lainnya, tetapi dalam Undang-undang itu masih terdapat kelemahan terutama tentang hakekat benda cagar budaya itu sendiri dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur sanksi pidana. Banyak benda peninggalan sejarah dan purbakala yang bukan benda cagar budaya, padahal sesuai Pasal 26 Undang-undang No. 5 tahun 1992, sanksi pidana hanya ditujukan kepada seseorang yang merusak benda cagar budaya. Hal ini akan berimplikasi dalam penegakan hukumnya. Sedangkan untuk benda-benda koleksi museum, selama ini keamanannya dapat terjaga, dalam arti belum pernah terjadi kasus hilangnya atau dicurinya benda-benda tersebut. Yang menjadi kendala dalam pemeliharaan dan perawatan benda koleksi museum, terutama faktor dana yang terbatas, masih sedikitnya sumber daya manusia yang ahli atau trampil, masih kurang baiknya sarana dan prasana museum itu seidiri, sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas penyajian dan pelayanan kepada masyarakat.

Kata kunci : Perlindungan hukum, Benda Cagar Budaya, Koleksi Museum.

LEMBAGA EKSAMINASI DAN PROFESIONALITAS HAKIM

Oleh :
Bambang Sutiyoso, S.H, M.Hum.
Dosen FH UII Yogyakarta


ABSTRAK

Belakangan ini profesionalitas hakim seringkali mendapat sorotan dari publik, terutama berkaitan dengan putusan-putusannya yang terkadang bersifat “kontroversia”l, karena kurang sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, sehingga putusannya cenderung “tidak diterima” publik dan kalangan masyarakat hukum. Kredibelitas dan kualitas seorang hakim sesungguhnya ditentukan oleh putusan-putusan yang dibuatnya. Tidak berlebihan kalau ada pendapat bahwa mahkota hakim terletak pada putusannya. Sedangkan salah satu cara untuk mengetahui kualitas hakim adalah dengan mengeksaminasi putusan-putusannya. Eksaminasi jsekaligus juga sebagai mekanisme control secara institusional bagi lembaga peradilan terhadap hakim-hakim di lingklungannya. Dalam konteks itulah, tulisan ini berupaya mengkaji lebih jauh tentang keberadaan, peran dan perkembangan lembaga eksaminasi di Indonesia serta beberapa pandangan seputar profesionalitas Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya di pengadilan.

The Relevance of the Formal Validity in the Judiciary Approval of the Private Legal Cases

(Relevansi Kebenaran Formil Dalam Pembuktian
Perkara Perdata di Pengadilan)

Oleh :

Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.
Dosen FH UII Yogyakarta

ABSTRACT

This topic deserves to be researched due to the fact that the approval of the private legal cases is still being disputed among jurists. This is because, the attainment of formal validity have not reached yet the satisfied legal problem solving practically. This does not express the truth of the fact due to the reliance merely on the formal proofs forwarded in the court, far from the judges conscience. Beside that, according to the Indonesian positive law, the existence of formal truth is not explicitly mentioned, hence, its implementation often generates multi interpretation among jurists.

This research is conducted in the area of Yogyakarta Provincial Court’s authority. It includes the High Court of Yogyakarta and three General Courts, include Court of Yogyakarta city, Sleman, and Bantul. The subject of the research is composed of judges and lawyers. This is a legal and normative research which covers both of the library research and field research. Therefore, documentary analysis, interview and distributing questionnaire to the respondents are certainly made.

The research shows that the formal validity is still relevance with the judicial system today, it is needed in the context of the private legal cases themselves. The formal truth is confirmed as relevance based on the following reasons. First, in the judicial process, a judge is restricted by the regulations of the approval procedures and chapter 178 (3) HIR/315 (3) Rbg. It doesn’t mean that in legal decision making a judge is not serious, due to the fact that every decision must be made based on deep considerations and rational reasoning. Yet, a judge have to take the principle of feasibility, written and unwritten norms into account. Second, in the private legal procedure, it is strongly needed the availability of the written legal procedure, which is also, written proofs are regarded as more important than other proofs. Third, to give legal certainty, authentic certificate proof, confession and oath, a judge is restricted by certain rule of conduct. The prevention of the possibility of the abuse of those three elements of proof, can be anticipated as long as a judge is professional and accurate to do his job. Fourth, in case that the convincing of the judge is not regarded as a requirement in judicial process, cannot be taken as barrier for a judge to enforce the rightness and justice, as long as this conviction can be replaced by proof of assumption. Fifth, those who seek for justice in such legal procedure show their attitude to accept the made decisions, they do not take further action with regard to the decisions of the judges. It means that the decision of the judge is considered as right and meets the requirements of justice.

Key words : relevance, formal validity, approval, private legal cases.

KEMANDIRIAN HAKIM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENEGAKAN HUKUM

Oleh :
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.
Dosen FH UII Yogyakarta

ABSTRAK

Latar belakang penelitian ini tidak lain untuk membuktikan sinyalemen berbagai pihak yang sering melontarkan bahwa kondisi peradilan kita dewasa ini tidak lagi mandiri, sehingga putusan-putusan yang dihasilkan seringkali tidak memenuhi perasaan keadilan masyarakat, khususnya para pencari keadilan (justiciable).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kemandirian kekuasaan kehakiman kita, khususnya di lingkungan Peradilan Umum serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Kemudian apakah kemandirian lembaga peradilan ini punya implikasi terhadap penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan di muka persidangan.
Pengumpulan data dilakukan dengan penelirtian lapangan dan studi kepustakaan, dengan pendekatan yuridis empiris. Penelitian lapangan menggunakan cara interview (wawancara) dan menyebarkan angket terbatas kepada responden. Adapun populasinya terdiri dari Para Hakim di Pengadilan Negeri yogyakarta dan Pengadilan Negeri Bantul serta beberapa Pengacara Praktek di Kotamadya Yogyakarta.
Dari hasil penelitian, ternyata menunjukkan bahwa meskipun secara konstitusional sudah ada jaminan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman, ternyata dalam praktek masih tetap saja dijumpai ada usaha-usaha intervensi (campur tangan) pihak lain untuk mempengaruhi kebebasan hakim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun untuk membongkar dan membuktikannya amat sulit, terutama tidak adanya bukti-bukti kongkret yang didapatkan. Fakta yang terungkap, semua Hakim yang menjadi responden menyatakan bahwa mereka tetap mandiri dan bebas dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya, meskipun terkadang ada pihak-pihak yang mencoba mempengaruhinya. Dengan demikian implikasi kemandirian hakim terhadap penegakan hukum justru bersifat positif, karena berarti hakim dapat bersikap obyektif dan tidak membedakan kedudukan para pihak sehingga putusan-putusan yang dijatuhkan relatif adil dan dapat diterima oleh para pencari keadilan.

Kata kunci : Kemandirian hakim, penegakan hukum, intervensi, integritas moral hakim.

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI DPRD DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh :
Bambang Sutiyoso, SH. M. Hum.
Dosen FH UII Yogyakarta

ABSTRAC
Penelitian diangkat tidak lain bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan di DPRD Propinsi DIY. Mengingat, berdasarkan data yang ada, keterwakilan perempuan yang duduk sebagai anggota legislatif masih rendah dan cenderung mengalami penurunan prosentasenya. Hal ini dapat terlihat dari keterwakilan perempuan dalam Pemilu tahun 1992 sejumlah 12% dan dalam Pemilu tahun 1997 sebanyak 11%. Sementara itu, khusus untuk keterwakilan perempuan di lingkungan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini hanya sebanyak 5 % atau hanya 5 orang dari 55 orang anggota DPRD secara keseluruhan. Data tersebut juga menunjukkan semakin mengecilnya porsi perempuan yang terlibat sebagai pengambil keputusan publik baik dalam lembaga legislatif maupun lembaga negara lainnya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa keterwakilan perempuan dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan di DPRD Propinsi DIY ternyata kurang bisa optimal, hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: (1) representasi perempuan di Dewan sangat sedikit, sehingga hal itu berkonsekuensi pada lemahnya bargaining position dalam setiap proses pengambilan keputusan, meskipun kesempatan dan hak-haknya sama dengan anggota Dewan lain dalam menyampaikan ide-ide kritis baik yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya maupun isu-isu aktual di masyarakat yang memerlukan apresiasi dari Dewan selaku wakil rakyat ; (2) dalam menyikapi isu-isu strategis yang berkaitan dengan kepentingan perempuan khususnya terbentur oleh kendala struktural, terutama aturan main yang termaktub dalam tata tertib Dewan, seperti adanya komisi dan tata cara penyampaian gagasan yang cukup birokratis. Sehingga dalam kondisi seperti itu, para anggota Dewan Perempuan tersegmentasi dalam area fraksi yang punya aturan main tersendiri, serta adanya komisi yang menyebabkan tersebarnya ‘suara’ anggota Dewan perempuan, tidak bisa menyatu.
Terkait dengan hasil temuan dalam penelitian ini, ada beberapa catatan penting sebagai rekomendasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif, yaitu: (1) dalam akomodasi quota perempuan di parlemen, partai politik perlu secara sungguh-sungguh mengakomodasi perempuan untuk menjadi anggota Dewan, tidak menempatkannya sebagai “nomor buntut” dalam pencalonannya ; (2) penguatan hak-hak politik perempuan perlu dilakukan secara sinergis antara pemerintah dengan kelompok-kelompok sosial masyarakat yang ada, seperti ormas, dan LSM. Hal itu penting dilakukan untuk merekonstruksi budaya patriarki yang sudah mengakar di masyarakat dengan mengintensifkan sosialisasi jender kepada masyarakat termasuk dalam hal ini anggota dewan .